SURABAYA, IndonesiaPos
Kota Surabaya akan segera memiliki unit Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang mampu menghasilkan listrik sebesar 12 Megawatt. PLTSa di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo ini, diyakini menjadi yang terbesar dan pertama di Indonesia.
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini mengatakan, pembangunan fisik PLTSa Benowo mencapai 100 persen. Saat ini tinggal menunggu datangnya ahli untuk memantau tahapan commissioning atau pengujian dengan melakukan pengecekan apakah sistem itu sudah berjalan dengan baik. “Dia (ahli) sebenarnya sudah (datang) bulan Februari. Karena ada Covid-19. Kalau itu (commisioning) sudah selesai, sudah bisa dioperasionalkan,” kata Risma, Jumat (21/8/2020).
Diketahui PLTSa ini, merupakan kerjasama antara Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, dengan PT Sumber Organik (SO), dengan menggunakan teknologi Gasifikasi Power Plant, yang mampu menghasilkan listrik 12 megawatt melalui pengolahan sampah 1000 ton per hari.
Risma memaparkan, dari 12 megawatt yang dihasilkan PLTSa Benowo itu, nantinya yang akan dijual kepada PLN sebanyak 9 megawatt. Sedangkan 2 megawatt untuk kebutuhan operasional sendiri, dan sisa 1 megawatt. “Jadi 2 megawatt untuk konsumsi (operasional) mereka (PT SO). Listriknya mereka gunakan sendiri, kan mereka juga butuh operasional. Nah, sisanya yang 9 megawatt itu dijual ke PLN dan masih ada redundant 1 megawatt,” paparnya.
Risma mengaku, Pemkot Surabaya juga bakal dibantu Pemerintah Pusat untuk tipping fee sekitar 30 persen. Sebelumnya, ia mengaku telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan kesiapan operasional PLTSa Benowo tersebut. “Alhamdulillah kita juga akan dibantu Pemerintah Pusat untuk tipping fee. Jadi kemarin kita sudah matur (sampaikan) ke Pak Presiden kita akan dibantu 30 persen (tipping fee),” ungkap dia.
Dia pun menegaskan, pemasaran listrik yang dihasilkan oleh PLTSa Benowo ini, akan dipasarkan oleh PLN, bukan Pemkot. Karena yang memiliki jaringan listrik adalah PLN, kemudian oleh PT SO listrik sebesar 9 megawatt tersebut, dijual kepada PLN. “Perusahaan yang jual. Ya gak tau PLN dijual kemana. Pemkot, setelah lima tahun kita baru dapat (keuntungan), tapi itu kecil. Tapi setiap tahun kami menerima sewa lahan ini, semua 4 milyar atau berapa gitu,” tuturnya.
Jika PLTSa ini resmi beroperasi, maka sampah di Surabaya dapat berkurang 1000 ton per hari. Sedangkan rata rata sampah di TPA Benowo ini, antara 1100 – 1300 ton per hari. “Jadi kamu harus menyelesaikan yang 300 ton per hari,” tuturnya.
Sementara itu, Deputy General Manager Business Unit PT Sumber Organik (SO), Hari Sunjayana mengungkapkan, bahwa proses gasifikasi sampah di PLTSa Benowo kapasitasnya mencapai 1000 ton per hari. Dari kapasitas itu kemudian diolah menjadi energi listrik sekitar 12 megawatt. Sementara itu hasil listrik sekitar 9 megawatt dijual ke PLN. “Sedangkan kapasitas pembangkit kami itu 12 megawatt. Kita internal consumption artinya dipakai sendiri itu 2 megawatt,” kata Hari Sunjayana.
Dikatakannya, saat ini PT SO sudah mulai melakukan tahapan persiapan commissioning atau pengujian. Rencananya, pertengahan bulan Agustus ini, tim ahli akan datang ke Surabaya untuk memantau pengujian PLTSa di Benowo tersebut. “Ini kita sudah persiapan untuk komisioning. Mulai bulan Agustus ini sudah akan mulai datang (ahli),” jelasnya.
PLN sendiri telah bekerjasama dengan PLTSa Benowo sejak tahun 2015. Senior Manager General Affairs, PLN Unit Induk Distribusi Jawa Timur, A Rasyid Naja mengungkapkan, pembangkit ini mampu memasok 740.000 kWh per bulan, dengan rata rata pemakaian rumah tangga daya 1300 VA. “Dengan pemakaian kWh rata-rata per bulan sebesar 132,78 kWh, maka PLTSa tersebut mampu mengaliri 5573 pelanggan,” terangnya.
Dengan memanfaatkan PLTSa Benowo ini, lanjut Rasyid, PLN turut serta dalam menanggulangi masalah sampah. PLN telah melakukan perjanjian jual beli tenaga listrik terhadap pengembang, yang berarti PLN membeli tenaga listrik hasil PLTSa ini sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. “Cara kerja PLTSa ini ialah sampah diolah sehingga menghasilkan gas methan yang kemudian dibakar untuk menghasilkan panas dan digunakan untuk memanaskan uap untuk menggerakkan turbin uap yang tersambung pada generator sehingga menghasilkan energi listrik,” imbuhnya.
PLTSa Benowo, Rasyid melanjutkan, menempati lahan 37,4 hektare di Surabaya Barat. Keberadaan PLTSa ini mampu menjadi percontohan bagi kota-kota lain tentang bagaimana mengelola sampah. “PLN mendukung setiap program pemerintah yang dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat, termasuk dalam hal ini adalah dengan melakukan pembelian tenaga listrik dari sampah kota yang dikelola oleh pengembang,” paparnya.
Rasyid berharap, dengan adanya kerjasama ini dapat menguntungkan semua pihak, baik PLN, pengembang maupun masyarakat.
Keberadaan PLTSa Benowo, menjadi angin segar bagi penanganan sampah di Kota Pahlawan ini. Mengingat, usia TPA Benowo yang diperkirakan mampu menampung sampah hanya bisa bertahan 2 – 3 tahun kedepan. Hal itu disampaikan, Pemerhati masalah sampah, Bhima Aries Diyanto. “Berbagai upaya mungkin dilakukan untuk menangani masalah ini. Baik yang dilakukan dengan memberdayakan komunitas melalui Bank Sampah, menciptakan klaster pengelolaan, sampai menggunakan teknologi modern,” terangnya.
Bhima yakin, teknologi yang digunakan PLTSa ini, dapat menjadi salah satu solusi mengurangi volume sampah. Teknologi ini, sudah banyak diterapkan di berbagai negara di dunia. Di Eropa, lanjut Bhima, teknologi ini diterapkan sebagai solusi masalah sampah sekaligus upaya mencari energi terbarukan. “Namun PLTSa bukan teknologi yang high end terhadap pengolahan sampah. Karena teknologi pengolahan sampah tersebut berangkat dari konsep pengolahan sampah itu sendiri,” ujarnya.
Menurut Bhima, sedianya konsep pengolahan sampah oleh Pemkot Surabaya telah dijalankan dengan baik, salah satunya adalah Bank Sampah, serta melibatkan berbagai komunitas.
Setali tiga uang dengan Bhima, aktifis nol sampah Wawan Some mengaku jika keberadaan PLTSa mampu menyelesaikan keberadaan sampah yang telah menumpuk. Menurutnya, sampah yang masuk setiap hari di TPA Benowo mencapai 1500 ton, sedangkan yang digunakan untuk listrik seberat 1000 ton. “Ini akan menambah umur TPA Benowo. Padahal lahan di Benowo sudah sulit diperluas. Kalau mau bikin TPA lagi pasti sulit karena lahan,” katanya.
Namun yang perlu diperhatikan, kemudian dicek dan diuji, lanjut Wawan Some, adalah emisi yang dihasilkan. Karena sampah yang masuk ke TPA bermacam macam. Mulai dari plastik, logam, maka ada kemungkinan menghasilkan dioksin dan furan yang berbahaya, dan karsiogenik. “Mesti dicek. Karena sesuai aturannya harus ada pengujian,” ucapnya.
Sayangnya, kata Wawan Some, di Indonesia belum ada laboratorium yang bisa menguji hasil emisi pembajaran sampah tersebut. Selain itu, 10 – 25 persen dari pembakaran sampah akan menjadi abu. Dan abunya masih dikategorikan sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). “Tidak bisa dibuang di TPA umumnya. Butuh TPA khusus. Kalau dimanfaatkan, ada prosedur yang ketat,” tandasnya.