JAKARTA – IndonesiaPos
Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie mengunjungi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (26/2/2024).
Dia mengaku kunjungan tersebut berdasarkan permintaan Airlangga. Dan pertemuan tersebut membahas seputar kondisi ketatanegaraan pascapemilu 2024.
Jimly memberikan pendapat dan masukan kepada Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar. “Sudah beberapa kali saya diundang diskusi masalah-masalah tata negara,” kata Jimly.
Ide perubahan kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hingga terkait hak angket menjadi pembicaraan yang dilakukan oleh Menko Perekonomian dengan pakar tata negara itu.
Jimly juga mengusulkan agar Airlangga selaku Ketua Umum Golkar bisa memanfaatkan momentum saat ini untuk berpikir jauh ke depan mengenai demokrasi di Indonesia.
Hal itu mencakup perbaikan sistem demokrasi yang salah satunya memuat tentang ambang batas pencalonan presiden nanti.
“Ini ribut-ribut, susah-susah kan gara-gara salah satunya treshold 20%. Ribut nyari capres-capres. Padahal mestinya sudah biarin saja setiap partai punya hak mencalonkan presiden masing-masing,” kata Jimly.
Lebih lanjut, ia juga menyampaikan apresiasinya kepada partai-partai politik yang akan menggunakan hak angket di DPR RI. Sebab, langkah itu telah ditempuh oleh parlemen di setiap masa pemerintahan.
“Adanya angket ini, misalnya terjadi, saya malah apresiasi. Supaya dalam catatan sejarah di era pemerintahan Jokowi hak angket dipakai. Semua presiden itu mulai dari Pak Habibie, Megawati, Gus Dur, SBY, semua sudah mengalami hak angket, dipakai DPR,” kata Jimly.
Meski begitu, ia menekankan, hak angket itu tidak akan bisa berujung pada pemakzulan presiden yang berkuasa saat ini.
Sebab pemakzulan merupakan buah dari pernyataan pendapat yang prosesnya memakan waktu ketimbang hak angket yang condong pada penyelidikan masalah.
Kesimpulan dari penyelidikan masalah itu, kata Jimly, dapat dibawa ke ranah pidana, dalam hal ini pidana kepemiluan.
Dus, bola akhir dari penyelenggaraan hak angket akan berada di tangan Bawaslu. Namun tak menutup kemungkinan temuan-temuan yang didapat dalam hak angket dapat menjadi pertimbangan oleh Mahkamah Konstitusi dalam penanganan perkara pemilu terkait.
Jimly pun mengakui kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024 cukup masif. Lantaran praktik itu sulit dihindari dan bahkan kerap terjadi selama penyelenggaraan pemilu sebelum-sebelumnya.
Namun Jimly tak bisa berpendapat kecurangan tersebut bersifat terstruktur dan masif.”Kalau masif, itu iya. Namun kalau terstruktur dan sistematis, itu saya tidak tahu. Karena itu perlu dibuktikan dan tampaknya agak sulit,”pungkasnya.
KPU dan Bawaslu Tidak Dipercaya Masyarakat, Hak Angket Diperlukan