JAKARTA – IndonesiaPos
Kebijakan pemerintah mengenai pemotongan gaji karyawan swasta atau buruh untuk simpanan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) atau iuran Tapera mendapat penolakan dari berbagai pihak.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta Achmad Nur Hidayat berpendapat dengan adanya penambahan iuran, pekerja dan pemberi kerja akan menghadapi beban ganda.
Dia menyebut saat ini pemberi kerja sudah menanggung beban pungutan sebesar 18,24%–19,74% dari penghasilan pekerja untuk berbagai program jaminan sosial. Dari sisi pekerja, mereka sudah dibebani dengan iuran BPJS Kesehatan, iuran Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan, hingga penghitungan dan pemungutan pajak penghasilan (PPh) 21.
Potongan iuran Tapera itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat yang diteken Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2024. Dalam beleid itu disebutkan besaran simpanan peserta Tapera ditetapkan sebesar 3% dari gaji. Dengan rincian iuran dibayarkan 0,5% oleh pemberi kerja dan 2,5% ditanggung pekerja.
“Ketentuan iuran ini harus ditolak karena berbagai alasan yang kuat seperti adanya beban ganda bagi pekerja dan pemberi kerja,” ujar Achmad dalam keterangannya.
Menurutnya, iuran Tapera bagi pekerja swasta memerlukan penyesuaian agar lebih tepat sasaran dan tidak membebani pekerja serta pengusaha. Selain itu, ihwal pembelian perumahan juga harus mempertimbangkan preferensi dan kebutuhan nyata masyarakat agar benar-benar memberikan manfaat yang maksimal.
“Banyak masyarakat berpendapat bahwa kebijakan iuran Tapera ini tidak efektif karena preferensi perumahan setiap orang berbeda-beda, dan rumah yang disediakan Tapera mungkin tidak sesuai dengan keinginan mereka,” imbuhnya.
Pengusaha Ikut Menolak
Dari kalangan pengusaha, Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Arsjad Rasjid mendesak pemerintah tidak menyamaratakan penerapan PP No.21/2024. Dia menegaskan tidak semua perusahaan memiliki kemampuan finansial untuk menyokong iuran Tapera.
“Ada perusahaan-perusahaan yang tidak sehat. Jadi, gak bisa itu dipukul rata aturan iuran Tapera. Kita mesti teliti dengan aturan ini,” ungkapnya di Jakarta.
Menurutnya, harus ada keseimbangan antara tenaga kerja dengan perusahaan terkait penambahan iuran supaya tidak memberatkan beban operasional perusahaan dan berkurangnya upah yang didapat pekerja.
“Penting sekali adanya kesinambungan antara yang namanya pengusaha dengan pekerja. Pekerja harus mengerti apa tantangan pengusaha dan pengusaha juga mesti mengerti apa diperlukan pekerja,” imbuhnya.
Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani secara terang-terangan menolak PP No.21/2024. Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja atau buruh.
“Apindo dengan tegas keberatan diberlakukannya PP tersebut,” katanya.
Menurutnya, tambahan beban bagi pekerja dan pengusaha terkait iuran Tapera tidak memiliki urgensi untuk diterapkan. Untuk mendapatkan fasilitas perumahan, pekerja bisa memanfaatkan Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dari sumber dana program JHT BPJS Ketenagakerjaan atau program lainnya yang tidak memberatkan kantong pekerja. Apindo pun mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali PP No.21/2024.
Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal juga menentang kebijakan pemotongan gaji 3% karena dapat membebani pekerja swasta atau buruh.
“Partai Buruh dan KSPI menolak program Tapera dijalankan saat ini karena akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh,” tegasnya.
Iqbal juga berpandangan tidak ada jaminan pekerja mendapatkan rumah lewat program Tapera. Saat ini upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3% per bulan maka iurannya sekitar Rp105.000 per bulan atau Rp1.260.000 per tahun. Karena Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000. Meski, ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul dinilai tidak mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah
“Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% yang dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5% tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun,” tutup Iqbal.