<

NKRI Tanpa FPI

Editorial Ditulis Oleh  : Yondrik SH.

Anggota DPRD Bondowoso Fraksi Amanat Golongan Karya & Ketua PD AMPG Bondowoso

PENGHUJUNG tahun 2020, yang nuansanya masih terasa hingga awal 2021, tak lain adalah pembubaran FPI melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) enam pejabat tinggi negara: Tito Karnavian (Mendagri), Yasonna Laoly (Menkumham), Johnny G. Plate (Menkominfo), Jendral Pol Idham Azis (Kapolri), ST. Burhanuddin (Jaksa Agung), dan Boy Rafly Amar (Kepala BNPT).

Pemerintah melalui Wamenkumham, Eddy Umar Syarif, memaparkan tujuh poin alasan FPI dibubarkan. Salah dua dari ketujuh poin itu, yakni poin lima dan enam, alasan FPI dibubarkan disebabkan banyak pengurus yang terlibat tindak pidana dan FPI juga kerap kali melampaui wewenang aparat dalam hal penegakan hukum seperti tindakan razia atau sweeping, dan tindakan kekerasan lainnya.

Meskipun begitu, opini di masyarakat tentu saja terbelah. Pihak yang pro terhadap FPI memandang bahwa pembubaran itu merupakan cerminan dari otoritarianisme negara terhadap ormas. Di pihak yang kontra memandang bahwa ini langkah yang berani dari pemerintah dalam membubarkan FPI. Tulisan ini mengambil posisi tegas bahwa pembubaran FPI merupakan langkah yang tepat.

Demi Stabilitas Politik

Stabilitas politik di dalam negeri sangat dibutuhkan. Tujuannya guna untuk memantapkan pemerintah dalam hal memprioritaskan kerja-kerja pembangunan yang memiliki dampak positif jangka panjang di dalam masyarakat. Terutama di tengah Pandemi. Sehingga semestinya negara dan berbagai organisasi masyarakat hendaknya mengambil tindakan yang saling mendukung.

Persoalannya, FPI – terutama pada saat Habib Rizieq selaku pemimpin FPI datang ke Indonesia – banyak sekali melakukan berbagai tindakan-tindakan yang justru mengguncang situasi politik. Kita masih ingat beberapa waktu lalu, manakala pemerintah sedang menegakkan protokol kesehatan, justru Rizieq dan jamaah FPI-nya justru menggelar kerumunan dan menyerempet ke beberapa kepala daerah.

Anehnya lagi, dalam situasi bersalah itu, justru FPI bukannya mau bekerjasama dengan pemerintah. Tindakan dan ucapan yang provokatif terus digaungkan. Dalam situasi ini, terutama di tengah pandemi, justru tindakan provokatifnya justru memperkeruh keadaan. Tentu saja, pemerintah memiliki daftar yang lebih panjang yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa FPI layak untuk dibubarkan.

Tetapi poin penting di sini adalah bahwa bila FPI terus-menerus menunjukkan ketidakpatuhannya pada negara, menunjukkan manuver-manuver yang bisa memprovokasi masyarakat, maka negara tentu berada dalam situasi yang tidak stabil. Dampak ikutannya tentu besar: fokus pemerintah terganggu dalam upaya pembangunan nasional. Akibatnya, kita semua dirugikan oleh ulah tak bertanggung jawab dari FPI.

Wajah Islam yang Lain dari FPI

Kaitan lain yang menjadi layak FPI dibubarkan adalah bahwa FPI hadir dengan wajah Islam yang baru. Dalam pengertian ini, FPI datang dengan kekerasan-kekerasan kolektif yang dibalut kesucian agama. Dengan prinsip ‘amar ma’ruf nahi mungkar’, mereka seakan memiliki hak yang dibenarkan untuk bertindak apa saja yang menurut keyakinannya benar. Bahkan dengan keyakinan itu, tindak kekerasan kolektifnya seakan mendapat pemafhuman, pewajaran, normalisasi. Di sini tentu saja sangat berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertama, meskipun negara ini mayoritas dihuni oleh masyarakat muslim, tapi negara ini menganut negara berdasarkan hukum. Dalam hal ini, hukum tertinggi adalah hukum positif yang menaungi kita semua tanpa membeda-bedakan agama. Pada titik ini, agama mana pun tidak boleh memaksakan kebenaran hukumnya sendiri untuk memaksakan hak-hak orang lain. Apa yang dilakukan oleh FPI dengan tindakan sweeping, razia, dan lain-lain dengan berpijak di atas hukum yang diyakininya adalah melanggar kesepakatan bersama tentang hukum positif yang menaungi kita.

Kedua, dalam tindakan razia dan sweeping itu, FPI juga telah melampaui peran dari negara. Di sini FPI berperan seolah-olah aparat yang punya kewenangan untuk menegakkan hukum. Padahal, FPI hanyalah ormas – bagian dari masyarakat. Dalam konsep kewarga-negaraan, kita sebagai warga negara hanya menyerahkan kesepakatan aturan hukum kepada negara bukan kepada ormas. Jadi, apa yang dilakukan oleh FPI dengan kekerasan kolektif adalah wujud nyata dari melampaui peran negara. Bila ada ormas yang menunjukkan gelagat melampaui peran negara (aparat), maka tentu saja ormas tersebut patut dihentikan dan dibubarkan.

Selain itu, tindakan FPI yang seringkali mengarah pada tindakan kekerasan kolektif dengan balutan agama ini justru memicu tumbuh suburnya radikalisme agama yang seterusnya berpotensi mengarah pada terorisme. Padahal, masalah utama yang seringkali muncul di negeri ini adalah terorisme yang bermula dari radikalisme agama. Negara dan ormas-ormas yang lain seperti NU dan Muhammadiyah dan yang lainnya bersama-sama melawan radikalisasi ini dengan pendekatan deradikalisasi. FPI justru menyuburkan. Tentu saja ini disesalkan.

Wajah Islam Nusantara

Sebab itu, pembubaran FPI tidaklah perlu kita sesali. Bila ada satu polemik terhadap mekanisme pembubarannya, barangkali itu patut menjadi diskursus bersama. Tapi persoalan bahaya yang dihadirkan FPI, rasanya kita semua sepakat. Wajah Islam yang kita perlukan bukanlah yang dihadirkan FPI. Tetapi wajah Islam yang ditunjukkan oleh NU dan Muhammadiyah dan ormas-ormas lain yang menjunjung semangat ‘rahmatan lil ‘alamin’ (penuh kedamaian), itulah yang kita patut pertahankan.

NU dan Muhammadiyah – untuk menyebut sebagian – kiranya merupakan representasi wajah Islam yang cocok dengan bumi pertiwi ini. Selain karena latar belakang keduanya yang lahir dan tumbuh dari bumi pertiwi ini, membawa semangat masyarakat nusantara ini, keduanya juga konsisten pada wujud Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Lebih jauh, kedua organisasi Islam ini juga tak perlu dipertanyakan lagi kontribusinya kepada negara ini. NU dengan jaringan ulama-ulama yang tersebar di nusantara melalui tradisi pesantren-pesantren telah ikut serta memajukan bangsa ini dari sisi sosial-budaya-ekonomi dan lainnya. Demikian pula dengan Muhammadiyah, yang lahir dan membawa semangat modernitas. Ormas ini juga turut memberikan peran penting dari sosial-budaya-ekonomi dan sebagainya.

Sebab itu, bila kita bertanya mana wajah Islam yang dibutuhkan bangsa dan negara ini, wajah Islam yang ditunjukkan oleh NU, Muhammadiyah, dan yang satu semangat dengan mereka cukup representatif untuk mewakili wajah Islam Indonesia. Sementara wajah Islam yang ditunjukkan oleh FPI, dengan kekerasan kolektifnya, dan yang satu semangat dengannya, bukanlah wajah Islam yang kita butuhkan.

Sebab itu, mari kita bersama-sama untuk menjaga bangsa dan negara ini. Apabila kita menemukan gerakan-gerakan radikalisme – baik yang ditunjukkan oleh FPI yang sudah terlarang, dan yang serupa, hendaknya kita koordinasikan dengan aparat dan tokoh-tokoh sekitarnya. Tugas menjaga bangsa dan negeri ini adalah tugas kita bersama.

Kita tegaskan sekali lagi bahwa hadirnya FPI bukan bikin negara ini kokoh, tetapi justru hanya bikin gaduh dan tidak stabil secara keamanan.

BERITA TERKINI

IndonesiaPos