<

Peretas Data Nasional Didesak Usut Sampai Tuntas

JAKARTA – IndonesiaPos

Seruan agar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi “Dikartumerahkan” menggema dalam sebuah “Talkshow” di sebuah kafe di Jalan Tendean, Jakarta, Selasa (9/7).

Menggema pula desakan agar dugaan keterlibatan dalam peretasan Pusat Data Nasional (PDN) diusut sampai tuntas hingga ke pangkalnya.

Presiden Joko Widodo juga dinilai tak punya kemauan politik atau “Political Will” untuk melindungi PDN.

Diskusi bertajuk “Pusat Data Nasional Ambyar! Apa Solusinya” itu diselenggarakan oleh Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI) yang terdiri atas Pengurus Pusat Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (PP IA ITB), Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Forum API Perubahan, dan Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (Yakin).

Tampil sebagai pembicara dalam diskusi yang dipandu moderator Sekretaris Jenderal PP IA ITB Hairul Anas Suaidi adalah Koordinator APDI yang juga Ketua Umum PP IA ITB Akhmad Syarbini, pakar telematika yang juga mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara Petrus Selestinus SH, pakar Information Technology (IT) yang juga dosen Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Dr Soegianto Soelistiono, pakar IT Dr Ridho Rahmadi, dan Ketua Yakin Ted Hilbert.

Roy Suryo mengaku sependapat ketika ada petisi dari SafeNet agar Menkominfo Budi Arie Setiadi “Dikartumerahkan”.

“Saya setuju ketika ada yang menyerukan agar Menkominfo dikartumerahkan,” jelasnya.

Kartu merah itu, istilah dalam permainan sepakbola ketika wasit memberikan kartu merah kepada pemain yang melakukan pelanggaran berat atau akumulasi dari kartu kuning (pelanggaran ringan/sedang).

“Konsekuensinya, pemain yang kena kartu merah harus terusir dari lapangan,”tegasnya.

Terkait hal ini, banyak pihak mendesak Budi Arie Setiadi mundur dari jabatan Menkominfo pasca-Pusat Data Nasional (PDN) Sementara 2 di Surabaya, Jawa Timur, dibobol “Hacker” (peretas) pada 20 Juni 2024. Namun Budi Arie bergeming, tak mau mundur, sehingga harus dimundurkan, dipecat, atau dikartu merah.

“Peretasan itu sesungguhnya telah terjadi sejak 17 Juni 2024,” cetus Roy Suryo.

Ia juga mengapresiasi pengunduran diri Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan.

“Saya apresiasi. Anda termasuk orang baik di Kementerian Kominfo,”tegasnya.

Menurut Roy, meski ada “cloud storage” di Batam, Kepulauan Riau, dan PDNS 1 di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, fakta bahwa sebagian besar data penting republik ini dapat dikuasai oleh “hacker” dan sekarang dalam kondisi terenkripsi serta dimintakan tebusan senilai US$8 juta (Rp132 miliar) adalah bukti kegagalan pemerintah dalam melindungi data.

“Saya mendukung pemerintah untuk tidak membayar tebusan tersebut karena tidak ada jaminan data akan dikembalikan dan transaksi menggunakan ‘cryptocurrency’ yang tidak bisa dilacak,”cetusnya.

Roy juga mengecam oknum yang mendorong pemerintah untuk membayar tebusan, termasuk seorang pakar dari ITB yang menurutnya patut dicurigai karena sikapnya yang mendukung pembayaran tebusan.

Roy menegaskan, kasus ini adalah tragedi besar bagi Indonesia dan tidak bisa dianggap enteng. Data publik yang sekarang dienkripsi, katanya, sebenarnya sudah dicuri dan siap dibocorkan sewaktu-waktu.

“Dapat dibayangkan data tersebut meliputi data kependudukan, kesehatan, keuangan, bahkan intelijen. Ini bukan lagi dampak minor atau mayor, tetapi sudah kritis. Seharusnya penanggung jawab semua ini, yakni Menkominfo Budi Arie Setiadi mundur sebagaimana petisi SafeNet,”tandasnya.

Sementara itu, Ridho Rahmadi mengaku sependapat dengan sinyalamen mantan Dirjen Aptika Semuel Abrijan Pangerapan bahwa ada orang dalam yang diduga terlibat dalam kasus peretasan PDNS 2 ini.

“Insider (orang dalam) lebih masuk akal. Harus dikulik sampai ke pangkalnya. Saya menduga ada yang pesan, yakni kaum elite, punya banyak dana dan kekuatan politik, yang mau ‘smooth landing’,”katanya.

Orang dalam, kata Ridho, banyak yang tidak suka dengan Menkominfo Budi Ari yang sombong dan tidak mau diberi masukan.

“Peretasan itu sebagai pelajaran bagi Menkominfo,” sindirnya.

Sementara itu, Petrus Selestinus menilai pemerintah tidak punya kemauan politik untuk melindungi PDN dengan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang PDN, sebagaimana pemerintah dan DPR membentuk UU No 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.

“Presiden Jokowi diduga memiliki agenda politik pembentukan UU hanya untuk melindungi kelompoknya saja, sehingga untuk hal yang sangat penting dan strategis seperti PDN hanya cukup diatur dengan Perpres, itu pun diatur sacara sumir dalam Perpres No 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), dengan tujuan memodernisasi sektor pemerintahan dengan memanfaatkan teknologi informasi,” katanya.

“Saya sepakat bahwa pemerintah dan DPR tidak punya kemauan politik dan tidak punya itikad baik dalam merumuskan kebijakan soal PDN,” tandasnya.

 

 

BERITA TERKINI