<

DPP PDI Perjuangan Peringati Pidato Bung Karno di PBB

JAKARTA, IndonesiaPos

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan (PDIP) memperingati pidato Proklamator RI Ir. Soekarno atau Bung Karno di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berjudul ‘To Build The World A New’ (Membangun Dunia yang Baru) pada 30 September 1960 yang lalu.

Sekretaris Jenderal (Sekjend) PDIP, Hasto Kristiyanto menjelaskan, bahwa pidato Bung Karno itu menegaskan konsistensi Indonesia yang tidak berada dalam dua blok besar yang bertikai saat itu. Blok Timur dengan ideologi komunisme/leninisme dan Blok Barat dengan ideologi kapitalisme/liberalisme.

“Bung Karno selalu menekankan bahwa dalam kedua ideologi itu terkandung benih imperialisme dan kolonialisme yang ditentang Indonesia. Karena itulah Bung Karno menggali dari sejarah Indonesia, dimana sebagai tahapan selanjutnya adalah Pancasila,” ujarnya dalam talkshow yang ditayangkan langsung di saluran YouTube resmi PDIP, Jakarta, Rabu (29/9/2021).

Acara itu dirangkai dengan peresmian Patung Bung Karno di Polder Stasiun Tawang, Semarang, Jawa Tengah, yang akan dihadiri oleh Megawati Soekarnoputri.

Hasto mengajak seluruh rakyat Indonesia, khususnya para anak muda, untuk mengingat peristiwa itu demi melanjutkan perwujudan cita-cita pendiri bangsa.

Hasto mengatakan, pidato Bung Karno sangat fenomenal dan dianggap dunia internasional sebagai yang terbaik saat itu. Intinya, lewat pidato itu, Bung Karno ingin memaparkan bahwa pada suatu hari, Indonesia merdeka akan menjadi pelopor kemerdekaan dunia yang bebas dari belenggu penjajahan.

“Pancasila bukan saja falsafah dasar, tapi pandangan Indonesia bagi dunia. Di forum PBB, Bung Karno menegaskan posisi Indonesia yang tak melibatkan diri dalam salah satu blok, namun kita bergerak aktif dan berpihak pada kemerdekaan setiap bangsa. Maka politik luar negeri kita tak netral namun memihak. Memihak kemana? Yaitu bergerak aktif membangun persaudaraan dunia,” katanya.

Hal kedua yang ditegaskan Bung Karno lewat pidato itu adalah bagaimana penderitaan bangsa Asia-Afrika akibat penjajahan. Maka Bung Karno mendorong PBB harus benar-benar berdiri bebas. Sekretariat PBB didorong untuk ditempatkan di negara yang tidak terlibat kedua blok bertikai.

Bung Karno mempersiapkan Jakarta sebagai markas PBB. Lokasi yang disiapkan adalah gedung di Bundaran HI, Jakarta, yang memiliki lorong bawah tanah ke Gedung Sarinah.

“Sehingga diplomat PBB akan makan siang dengan atraksi seni di Sarinah. Sarinah menampilkan seluruh khasanah kebudayaan Indonesia. Itu desain besar Bung Karno. Jadi desainnya bukan hanya memindahkan markas PBB, namun mengganti piagam PBB dengan Pancasila,” ungkap Hasto.

Hasto lalu membeberkan bagaimana sila-sila Pancasila adalah yang dibutuhkan dunia untuk benar-benar mencapai perdamaian abadi. Termasuk bagaimana prinsip penyelesaian masalah di PBB tidak lagi dilakukan dengan voting, tapi dengan musyawarah mufakat sesuai sila keempat Pancasila.

“Pertama kalinya dalam pidato pemimpin negara, Bung Karno mengutip ayat-ayat kitab suci. Baik Alquran maupun Injil. Bung Karno ingin menegaskan bahwa kita sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, harus memperjuangkan perdamaian dunia itu,” katanya.

Hasto menilai, bahwa ide-ide Bung Karno itu masih sangat relevan hingga saat ini. Bahwa Indonesia sebagai jembatan bagi pertikaian berbagai blok ideologi.

“Kita sampaikan konsepsi bahwa dunia tak boleh lagi diwarnai imperialisme dan kolonialisme, namun sebuah dialog demi meningkatkan harkat martabat manusia,” ujarnya.

Hasto melihat, bahwa pidato Bung Karno itu seharusnya menginspirasi rakyat Indonesia saat ini agar terus berjuang  keras memastikan Indonesia menjadi pemimpin di antara bangsa-bangsa dunia.

“Kepemimpinan Indonesia itulah yang kita ambil spiritnya. Dalam bidang apapun. Kita harus menjadi juara. Kita harus kembangkan sesuatu yang khas Indonesia, namun di saat sama kita jadi pemimpin dunia,” ungkapnya.

Dengan itu, Hasto mengatakan, bangsa Indonesia juga harus menjadi bangsa yang outward looking atau yang melihat keluar, bukan local acting dalam pengertian tak punya cakrawala luas.

“Kadang-kadang kita merasa aneh ketika ada elite yang orientasinya masih masa lalu, orientasi menakut-nakuti rakyat dengan masa lalu. Padahal seharusnya melihat masa depan, bagaimana desain kepemimpinan Indonesia masa depan,” katanya.

Hasto memberi contoh, Bung Karno pernah memerintahkan agar seluruh resep nusantara dikumpulkan dalam Buku Mustika Rasa, lengkap dengan analisis gizinya. Tebal buku itu sampai 1.134 halaman.

Dengan resep itu saja, menurut Hasto, Bung Karno ingin membangun kepribadian Indonesia melalui kuliner. Inilah yang dalam istilah militer disebut sebagai force projection alias kemampuan menunjukkan kapasitas kekuatan kita di luar wilayah teritorial.

“Jadi kalau cuma berani mengkritik ke dalam, itu jago kandang. Kalau keluar itu force projection. Maka mari kita peringati pidato Bung Karno ini, kita mendorong kembali semangat kepemimpinan Indonesia, generasi muda indonesia harus minimal menguasai dua bahasa asing, dan bergerak mewartakan kepemimpinan Indonesia di dunia,” ujarnya.

Dalam dialektika pemikiran Bung Karno, lanjut Hasto, Declaration of Independence dan Manifesto Komunisme memiliki tahapan lebih lanjut, yakni Pancasila. Itulah dasar bagi Putra Sang Fajar mengusulkan Pancasila diterima sebagai piagam PBB.

“Dalam akhir pidatonya di PBB, Bung Karno menegaskan Pancasila sebagai jalan perdamaian dunia, keadilan, dan kesetaraan. Dan dunia akan bebas dari penyakit penjajahan yang menghisap. Dunia akan masuk era baru yakni perdamaian abadi,” ungkapnya.

“Generasi muda Indonesia, dengan caranya masing-masing, harus ikut bagaimana Pancasila mendasari hidupnya. Gotong royong, menerima keberagaman. Itu sangat up to date dengan keadaan dunia saat ini. Sekarang bahasanya kolaborasi, dunia platform digital sebenarnya dunia gotong royong. Jejaring inilah yang harus diisi Pancasila dengan bahasa anak muda saat ini,” ujar Hasto menambahkan.

BERITA TERKINI