Jember, IndonesiaPos – Sejumlah anggota DPRD Jember “protes” dengan pembagian pokok pikiran (pokir)yang dianggap tidak merata, terlebih lagi munculnya nama Tri Shandy, menantu Bupati Hendy yang mendapatkan kuota persetujuan pengajuan pokir tertinggi diantara 50 anggota Dewan yang ada di DPRD Jember.
Dari data yang tersebar dibeberapa group Whatapp menunjukkan nama Tri Shandy dalam pengajuan pokir mengajukan kurang lebih 53 usulan dan disetujui 27 usulan dengan nominal kurang lebih Rp.4,42 milyar. Hal ini yang kemudian menjadi kecemburuan diantara anggota dewan mengingat anggaran pokir yang disediakan hingga mencapai Rp.100 milyar.
Selain Tri Shandy, sejumlah pimpinan dewan dan beberapa anggota DPRD lainnya juga mendapatkan persetujuan pengajuan pokir yang banyak pula meski nilainya masih dibawah Tri Shandy. Mereka antara lain Mashuri Hariyanto dari PKS sejumlah 25 persetujuan , Dedy Dwi s. Dari Nasdem sebanyak 25 , Hasan Basuki dari GIB sebanyak 22 dan Edi Cahyo Purnomo dari PDIP sebanyak 19 persetujuan.
Alfian Andri Wijaya, politisi dari Gerindra menyayangkan persoalan ini. Menurutnya ada ketidakadilan dalam pembagian kuota usulan yang disetujui pemkab Jember. ” jumlahkuota POKKIR bagi masing2 konstituennya Anggota DPRD Jember inilah yg menurut saya membuat kecurigaan. wajar jika dikatakan tidak adil karena patut diduga ada perlakuan istimewa dari Pemkab Jember kepada sebagian kecil ANGGOTA DPRD tertentu,”tuturnya .
Karena mana mungkin dikatakan adil kalau konstituen sebagian anggota dewan yang satunya hanya mendapatkan kuota
proposal senilai 200-400 juta, sedangkan lainnya mendapatkan kuota lebih banyak.”kuotanya jomplang dan besar sekali sampai lebih dari Rp 4 Milyar,”ungkapnya.
Menyikapi persoalan ini, ketua Fraksi PDIP Jember sekaligus sekretaris komisi D, Edi Cahyo Purnomo sangat menyayangkan terhadap kinerja bupati. Ia menganggap bupati Hendy tidak mampu mengakomodir kepentingan anggota dewan yang tertuang dalam pemberian dana Pokir yang tidak merata sehingga muncul kecemburuan antara sesama anggota dewan .
“Tolonglah bupati jangan seperti itu, kalau ada perlakuan yang berbeda kepada sesama anggota dewan sehingga berimbas pada kecemburuan sesama anggota DPRD itu sama saja dengan politik yang dilakukan Belanda jaman dahulu, yakni politik Devide at Impera (politik adu domba,” jelasnya.
Persoalan lain yang muncul dengan pola kebijakan bupati dalam persoalan pembagian pokir kali ini lanjut Ipung sapaan Edi Cahyo Purnomo adalah pembagian pokir yang hanya difokuskan pada 2 OPD saja, yakni DPU Cipta Karya dan DPU Bina Marga .
Padahal banyak dari OPD lainnya yang bisa mengakomodir kepentingan rakyat melalui program pokirnya seperti pemberdayaan UMKM, Pertanian dan beberapa kepentingan masyarakat lainnya pasca pandemi covid 19 untuk bisa bangkit dalam keterpurukan perekonomian mereka termasuk mushola dan masjid juga ditolak.
” Itu salah satu pengajuan dari kami, tapi ternyata ditolak, bahkan kami memasukkan pengajuan hingga dua kali mulai tahun 2021 hingga kini ternyata tetap ditolak,”tambahnya.
Proses pokir sendiri diatur dalam Permendagri no 86 tahun 2017 tentang tata cara perencanaan, pengendalian dan evaluasi perencanaan pembangunan daerah. Secara garis besar melalui proses menjaring aspirasi masyarakat pada dapil saat reses untuk selanjutnya dituangakan dalam laporan reses . Baru kemudian dibawa ke sidang paripurna dan disampaikan secara detail terkait persoalan aspirasi masyarakat untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam bentuk usulan pokir. (Kik)