Editorial IndonesiaPos
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko ialah seorang prajurit karier dengan ragam prestasi hingga pernah menjabat Panglima TNI. Akan tetapi, di dunia politik, Moeldoko masih gagal untuk menjadi pemimpin tertinggi di partai politik.
Moeldoko untuk sementara ini harus mengubur dalam-dalam kengototannya untuk memimpin Partai Demokrat. Ngotot alias tidak mau mengalah jelas terlihat dalam upaya Moeldoko mengambil alih kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono di Partai Demokrat.
Sejak awal, upaya Moeldoko untuk menguasai Partai Demokrat nyata-nyata tidak memiliki dasar. Makanya, Kementerian Hukum dan HAM pun menolak kepengurusan Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatra Utara, yang menjadikan Moeldoko selaku ketua umum.
Dengan kata lain, koleganya di pemerintahan pun enggan untuk mengesahkan kepengurusan versi Moeldoko.
Tidak terima dengan sikap pemerintah, Moeldoko dan kawan-kawannya kemudian melakukan proses hukum. Kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, mereka mengajukan banding.
Kembali dikalahkan di banding, mereka bersikukuh untuk mengajukan kasasi dan kembali kalah. Tetap tidak mau mengalah, mereka kembali mengajukan peninjauan kembali atau PK.
Lagi-lagi, mereka kalah. MA menolak PK yang dilayangkan kubu Moeldoko atas kepengurusan partai politik besutan AHY itu.
Juru Bicara MA Suharto mengatakan sengketa Partai Demokrat merupakan urusan internal yang bukan merupakan ranah pihaknya untuk memutus.
Menurut Suharto, sengketa partai itu arus diselesaikan terlebih dahulu melalui Mahkamah Partai Demokrat sebagaimana dimaksud Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Gugatan demi gugatan yang diajukan oleh Moeldoko dan kawan-kawan tersebut sebenarnya justru memperlihatkan ketidakpercayaan terhadap putusan pemerintah.
Karena dalam persidangan, mereka melawan Menteri Hukum dan HAM selaku tergugat. Padahal, saat mengomentari celotehan seorang Rocky Gerung, Moeldoko sempat melontarkan bahwa tugas yang melekat di Kepala KSP ialah menjaga kehormatan Presiden.
Publik tentunya meyakini pembegalan kepengurusan Partai Demokrat dari Mayor (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono bukan bagian rangkaian menjaga kehormatan Presiden Joko Widodo karena Presiden tidak menjadi semakin terhormat dengan langgam menguasai Partai Demokrat.
Jika hendak menjadi ketua umum partai politik, sah-sah saja dan tidak susah tentunya bagi seorang Moeldoko. Ikuti saja aturan yang berlaku di partai politik. Bisa melalui kongres, musyawarah nasional, atau apa pun istilahnya. Tanpa perlu embel-embel luar biasa. Pasti akan lebih lancar dan elegan. Kehormatan Presiden juga akan terjaga.
Presiden Jokowi tentu mengedepankan hukum bukan kekuasaan. Publik pasti tidak meyakini kalau Kepala Negara cawe-cawe untuk melengserkan kepengurusan AHY dari partai yang dibentuk oleh ayahnya yang juga mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pastinya, Presiden lebih memilih untuk cawe-cawe mengatur jajaran pembantunya agar bekerja bagi rakyat di akhir masa jabatan mereka.
Pertanyaannya ialah bagaimana sebenarnya dan sebaiknya sikap Presiden? Mendiamkan bisa dipandang sebagai emas.
Akan tetapi, bisa juga dipandang sebagai pembiaran terhadap manuver yang dilakukan sang Kepala KSP.
Kalau sampai terjadi pembiaran, sama saja Presiden memberi lampu hijau atas pembegalan terhadap parpol yang merupakan salah satu pilar demokrasi.
Semoga rangkaian kekalahan Moeldoko dalam merebut Demokrat membuatnya bijak dalam menjaga diri dan menjaga muruah pemerintahan Jokowi